Pasupati, Kau, Dan Aku
“Coba lihat,” teriakanmu seketika memisahkan kepalaku dari lamunan yang tengah aku ciptakan bersama jendela dan atap bangunan menjulang yang nyaris sejajar dengan tinggi kita, “ bulannya sangat indah.”
Kuikuti arah telunjukmu, menatap sesuatu yang kau sebut indah itu. Jujur, aku lebih suka bulan sabit, jauh lebih cantik.
“Kau bayangkan, seandainya malam benar-benar menelan alam dengan hitam…”
Oh, aku tahu sesuatu yang lebih pasti. Ialah suaramu yang hilang ditelan bebunyian kendaraan yang berlalu-lalang di belakang kita. Bagaimanapun, kita tidak sedang berada di kafe temaram atau longue yang sangat nyaman. Kau tahu, aku sempat frustrasi saat pertama kali kau mengajakku ke tempat ini. Dalam mimpi sekalipun, aku tak pernah berani memikirkan diriku duduk pada pembatas sisi jalan layang sambil berbincang dengan seseorang atau hanya sekadar menikmati malam. Terlalu berbahaya untukku.
“Kebisingan dan sedikit ketegangan di sini akan memberimu kedamaian dalam bentuk lain,” meski kutahu kau hanya berusaha mengatasi ketakutanku waktu itu, “percayalah.” Ya, aku percaya, bersamamu segalanya akan baik-baik saja.
Rasa percaya diriku kian bertambah ketika kulihat sepasang sejoli duduk mesra di atas sepeda motor yang ditepikan beberapa meter dari keberadaan kita, bahkan juga beberapa meter dari keberadaan mereka. Tiba-tiba aku teringat perkataan temanku tentang jalan layang yang menghubungkan Pasteur – Surapati ini.
“Di sini tempat orang pacaran kan?” pertanyaanku terdengar sangat norak di telingaku sendiri.
“Apa?” kau berteriak sambil mencondongkan telingamu ke mulutku.
Oh, terima kasih, Makhluk-makhluk beroda yang mendesau bising. Lain kali aku akan berusaha lebih baik lagi dalam membuat pertanyaan. Dan aku perlu sedikit penyesuaian teknik vokal untuk dapat memproduksi suara yang baik saat berbincang—tepatnya berteriak.
Tetapi, ada saatnya kita tidak harus berteriak. Kau memberitahu, “Pertama, ketika jalanan lengang; kedua, ketika jalanan ramai dan kita hanya perlu berbicara tanpa ingin didengar siapa pun namun tetap mendambakan keberadaan seseorang di samping kita.” Terima kasih, kau berhasil membuatku bingung untuk yang kedua itu.
“Ayolah, kau pasti lelah menulis diary, dan merasa semakin gila setiap berbicara dengan dirimu sendiri di depan cermin,” paparmu sebelum akhirnya kau mendemonstrasikan metode yang lebih baik dari kedua hal itu.
Kau menoleh, memastikan sekelompok kendaraan lewat secara bersamaan. Kemudian kau berkata-kata seolah aku mendengarnya. Aku hanya memandangi wajah dan gerakan bibirmu yang ajaibnya berbunyi WHUZZZ, BRMMM, NGEEENG, TIDIIID atau bahkan BLAR!!!
“Ah, lega,” ucapmu setelah selesai. Aku mulai paham, lalu berkesimpulan: inti dari metode yang kau maksudkan adalah mengungkapkan sesuatu yang kau anggap sangat pribadi dan Rahasia kepada seseorang tanpa perlu kehilangan arti kerahasiaannya. Menarik. Hei, ternyata tidak semua pasangan yang datang ke tempat ini hanya untuk berpacaran.
“Sekarang giliranmu,” kau menantangku.
Aku? Ah, orang bodoh sepertiku bukanlah penganut spontanisme yang baik. Pada malam-malam berikutnya, aku baru menemukan banyak materi rahasia yang selama ini hanya bergaung double stereo di ruang kedap suara dalam dadaku saja. Dari mulai masalah perceraian kedua orang tuaku, adikku yang menderita syndroma down, pengalaman seksual pertamaku yang mengerikan, kebohongan kecil dan besar yang pernah kubuat, hal-hal paling konyol dan memalukan yang pernah kulakukan, hingga penyakit-penyakit menjijikan yang sempat menyerang daerah paling sensitif di tubuhku. Wow, tak kusangka aku se-ekstrovert itu.
“Kau tahu, hanya ketika bersamamu aku merasa menjadi seseorang yang berbeda dalam versi aku yang sebenarnya. Maksudku, kaulah yang membantuku menemukan sisi yang lebih aku dari diriku sendiri.”
Pada malam kesekian itu, kau menatapku dengan ekspresi sedikit bingung saat mendengar sepenggal pengakuanku. Volume suaraku mengecil karena bising kendaraan kembali hadir.
“Biasanya, ketika kita jatuh cinta, kita jusrtru merasa gamang dengan diri kita sendiri,” dan suaraku benar-benar menghilang ketika kukatakan, “tetapi, jatuh cinta padamu sangat berbeda; begitu sederhana namun istimewa.”
Sekali lagi aku berterima kasih pada makhluk beroda di belakang kita. Betapapun aku belum siap dengan reaksimu ketika mengetahui perasaanku yang sebenarnya.
Dari sekian keuntungan yang kudapatkan, ada masanya di mana aku merasa dirugikan bising kendaraan itu. Ialah ketika aku ingin benar-benar mendengar apa yang tengah kau ucapkan. Siapa tahu kita memendam perasaan yang sama, mengucapkan kata-kata yang bermakna serupa: aku jatuh cinta padamu.
Kau tahu, aku selalu mendamba kemampuan infrasonic setiap kau berbicara tanpa suara. Menatap wajahmu dan membaca gerak bibirmu hanya hiburan pengganti atas keingintahuanku akan banyak hal tentang dirimu. Dan kurasa, mengetahui hobi, makanan dan musik favoritmu, juga hal-hal yang tidak kausukai, sudah lebih dari cukup untuk status kita yang tak lebih dari sepasang kenalan yang dipertemukan sebuah situs pertemanan. Kau pernah bilang, “aku tidak suka diselidiki”. Baiklah, kuikuti permainanmu. Dan lama-lama aku justru melupakan keinginan itu karena ternyata menatap wajahmu dan membaca gerak bibirmu jauh lebih menyenangkan.
Dan malam ini, aku terbuai dengan ekspresi riang wajahmu dan gerakan mulutmu yang berkali-kali membentuk kata “bulan”. Seluruh potensi inderaku selalu tertuju penuh padamu tatkala itu. Sesekali kau menatapku, lalu kembali menatap langit dalam waktu yang lebih lama. Sejauh ini aku berhasil berpura-pura tidak sedang memandangimu hingga, “… bagaimana menurutmu?”
Serta-merta kau alihkan pandanganmu secara tak terduga, menangkap-basah aku yang tengah khusyuk memandangimu. Mata kita saling memerangkap. Dan ada mesiu tak nampak yang menembus ke dalam jantungku. Aku beku dan nyaris tak berdetak lagi jika napasmu tak lekas kau tiupkan lewat kecupan yang hangat dan dalam.
Oh, aku meledak dalam rasa canggung sekaligus senang yang luar biasa. Persetan dengan apa pun. Persetan dengan siapa pun. Malam ini menjadi milik kita berdua. Sayup kudengar bunyi klakson, desau mesin kendaraan, dan decit ban di belakang, lalu menghilang seiring deru napas kita yang saling memburu kencang. Dinginnya angin malam yang menusuk berhasil kau halau. Kita tidak hanya sekadar berada pada ketinggian yang liar, melainkan benar-benar MELAYANG. Baru saja aku tahu jawabannya. Semoga aku tidak salah.
“Kau tahu, ini ciuman terindah dalam hidupku.” Aku tak percaya telah mengucapkannya dan kau benar-benar mendengarnya.
Tersipu, aku membalik tubuhku dan turun ke jalan menuju sepeda motormu, kemudian menutup wajahku dengan helm full-face milikmu. Aku sungguh merah. Oh, mimpi apa aku kemarin malam. Dan semoga malam ini aku tidak sedang bermimpi lagi.
* * *
Sejujurnya aku tak ingin perjalanan kita berakhir. Aku masih ingin duduk menatap langit di pembatas jalan layang—jembatan Pasupati. Aku masih ingin memeluk punggungmu dan menemanimu menyelinap di antara celah kendaraan di depan kita. Aku masih ingin merasakan ketegangan yang luar biasa saat sepeda motormu meluncur gila pada permukaan aspal yang dingin. Aku masih ingin bersamamu tanpa batas waktu.
“Sudah sampai, Tuan Puteri,” kau merajuk saat sepeda motormu berhenti di depan pagar rumahku. “Hei, aku tahu kau tidak benar-benar tidur. Turun dan masuklah.”
Andai kau tahu bahwa aku takut kehilanganmu.
“Kau tidak perduli kalau aku terus berdiri sampai pagi di depan rumahku sendiri?” Hei, sejak kapan aku bersikap manja padamu?
“Hm, baiklah.”
Kau membuka helm kemudian menemaniku menekan bel dan menunggu si Bibi membukakan pintu. Cukup lama, sepertinya seisi penghuni rumah sudah terlelap. Dan saat menunggu itulah kau membisikkan tiga-kata-itu sebelum menciumku lagi.
“Eh, si Eneng baru pulang?”
Oh, syukurlah kita sudah saling melepaskan saat si Bibi membukakan pintu.
“Masuk atuh, Neng, nggak baik kalau kelihatan tetangga.”
“Aku pulang dulu ya,” kau pun berpamitan.
“Wah, tunggu,” tahan si Bibi. “Nggak baik lho, anak perempuan naik motor tengah malam.”
“Ah, Bi, jangan khawatir. Temanku yang satu ini sudah ahlinya kalau soal naik motor. Cowok-cowok saja kalah ngebut.” Aku tersenyum bangga padamu. Dan kau membalasnya dengan anggukan canggung.
“Tapi ini kan sudah pagi, Neng. Apa tidak sebaiknya temen Eneng tidur di sini saja?”
Tidur di sini? Hm, ide bagus. Kurasa, kau pun sependapat denganku.
Penulis: Dadun