Mungkin Berakhir Indah
Semenjak lulus SMA, saat itu usiaku delapan belas tahun, sikapku semakin tidak karuan. Apalagi ketika aku melanjutkan di bangku kuliah, ada saja perbuatanku yang tidak disukai oleh kaum Hawa. Teman-teman di kampus memberiku julukan si Mulut Buaya. Maklumlah, di tempatku kuliah hanya aku saja yang paling banyak diminati oleh gadis-gadis di kampus. Aku sangat bangga bahkan menjadi angkuh karena ketampananku. Badanku tinggi dan berisi bahkan mulai berotot seperti Ade Rai. Aku juga punya harta yang tujuh turunan tak akan habis. Aku juga disegani oleh teman-teman bahkan dosen di sana. Ya, jelas saja. Aku ini anak seorang pejabat negara.
Namun, ada satu gadis yang menurutku dia biasa saja. Kadang-kadang terlihat manis. Dia sangat membuatku kesal. Dia pernah menantangku dan tak ada rasa takut melawanku. Oh… mau cari mati dia, pikirku menantang.
Namanya, Linda. Dia perantau dari Bangka. Tidak cantik, tetapi cukup berani. Linda teman sekelasku. Dari semester satu sampai semester delapan saat ini, aku masih sekelas bersamanya. Kami selalu saja tidak pernah akur. Perdebatan sering terjadi. Tidak ada kata titik. Selalu saja tidak ada akhirnya. Sama-sama keras kepala.
Di kelas, aku dan Linda disebut sebagai Tom and Jerry. Seperti tikus dan kucing saja tiap hari bertengkar. Di suatu hari, entah hari apa, aku tak mendapat Linda masuk kelas. Mungkin dia tidak masuk hari ini. Dia sakit? Dia bolos? Dia mendapat hukuman? Ah… pertanyaan ini sering kali terlintas dalam benakku. Mengapa aku begitu khawatir?
Begitulah diriku, tidak mau menyadari kalau aku…
* * *
Di lain hari.
Linda berhasil menjadi ketua kelas. Aku menjadi sangat benci padanya. Aku kalah! Ah, itu tidak akan terjadi. Urusan sepele melawan dia! Dengan jurus bualanku, dia pasti akan tertarik padaku, dan akan masuk dalam perangkapku. Perangkap tikus, kataku dalam hati.
Wanita mana yang tidak akan tertarik padaku. Punya mobil kelas dunia yang hanya satu di Indonesia, wajahku tampan lebih dari seorang pangeran Inggris, pikirku membanggakan diri.
Sewaktu masih semester satu, aku pernah berpacaran dengan Lisa. Dia seorang model majalah terkenal. Cantik. Anak orang kaya. Berpenampilan menarik. Kemudian, aku putuskan hubungan dengannnya, hanya sebulan kita pacaran. Dia masih sakit hati sampai sekarang.
Lalu aku pacari lagi anak seorang angkatan darat. Namanya, Mona. Cantik dan feminin. Lagi-lagi aku memutuskan hubungan. Hanya sebulan pacaran. Kemudian, Shinta, seorang artis terkenal di Indonesia. Muda dan anggun. Aku pacari juga. Ya, hanya sebulan kita pacaran!
Lisa, Mona, Shinta, dan masih banyak lagi, mugkin sudah puluhan. Mereka adalah mantan pacarku di kampus, atau bisa disebut korban cintaku. Sakit hati. Wajarlah, hanya sebulan aku berhubungan kemudian aku putuskan! Selesai, ungkap diriku dalam hati.
Hanya dengan modal tampang keren dan ganteng. Bawa mobil pribadi, dan punya uang yang banyak, gadis-gadis di kampus berbondong mendaftarkan diri menjadi pacarku. Bahkan tidak hanya di kampus saja, di luar kampus juga banyak. Bukan salahku! Itu pilihan mereka!
Kupacari teman wanita di kampus, lalu kuputuskan. Kupacari lagi wanita lain di luar kampus kemudian kuputuskan, begitu seterusnya.
Tidak sedikit mantan pacarku yang sakit hati. Ada yang mencoba membunuhku, menamparku, bahkan melaporkan aku ke kantor polisi karena aku dianggap telah berbuat tidak senonoh terhadapnya. Ah, ada-ada saja, ketus hatiku.
“Sudah cukup kamu menyakiti hati mereka! Apa belum puas juga kamu!” Linda menggertak.
Tersentak aku kaget dari lamunanku yang membuatku merasa bangga ketika aku sedang bersantai di bangku kantin. Orang-orang di kantin juga memperhatikan Linda termasuk aku.
“He! Ngapain juga kamu ikut campur urusanku?”
“Aku tahu kamu tampan, ganteng, kaya, dan punya segalanya. Tapi hatimu busuk!”
“Apa kamu bilang? Enak saja kamu menghina aku!” Aku marah sambil bertolak pinggang.
“Itu kata-kata yang pantas kamu terima!”
Linda kemudian pergi dengan wajah sinisnya.
“Uh, dasar perempuan aneh!”
Mengapa Linda berkata kasar seperti itu? Apa aku punya salah padanya? Ya… sudahlah! Lalu aku pergi meninggalkan kantin di belakang kampusku, karena malu dipermalukan di depan teman-temanku.
Namun, aku juga tidak terima penghinaannya. Betul-betul keterlaluan!
“Sialan tuh anak, awas kalau bertemu nanti! Aku akan membalasnya!” sambil melotot menahan marah dan kesal.
Akhirnya, dengan perasaan penuh kesal aku tancap gas motorku dengan kencang. Menuju rumahku. Lampu merah aku terobos. Untung tidak ada polisi. Namun, di pinggir jalan kulihat Linda barjalan kaki sendiri. Entah mau kemana. Ah, kesempatanku memberi pelajaran padanya, bisikku penuh emosi.
Baru akan meminggirkan motorku ke trotoar, tiba-tiba mobil dari belakang menabrakku dengan kencang. Brak!! Suaranya seperti barang yang terjatuh dari lantai enam. Apa aku akan mati?
Aku melihat ada taman yang indah dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Kulihat banyak kerumunan orang memakai baju putih tanpa lengan. Kulihat juga di sekeliling taman ada beberapa gadis cantik yang kukenal. Itu seperti, Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Bukankah mereka sudah meninggal secara tragis karena bunuh diri? Ya… sejak aku putuskan tali cinta yang waktu itu terbina. Sejahat itukah diriku? Hingga membiarkan hati mereka hancur sampai mati.
Mereka berempat tersenyum padaku. Mereka membawaku berkeliling taman. Hingga mereka menunjukkan sesuatu berupa cahaya putih menyilaukan. Aku mendekati. Kulihat ke bawah, dan betapa kagetnya aku. Kulihat seorang pria terkapar di ruang operasi dengan tubuh penuh jahitan. Masih basah. Hidungnya terpasang selang oksigen, kaki dan tangannya diperban. Oh… itu diriku! Kulihat di sampingnya ada seorang gadis yang kukenal. Itu Linda! Aku memanggil-manggil namanya beberapa kali. Dia tak mendengar. Aku pasrah. Aku juga ingin meminta maaf karena diam-diam aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ketika pertama masuk di bangku kuliah, semester satu. Aku memang sudah curi-curi pandang dirinya. Walau banyak gadis cantik, aku tak menaruh perasaan. Jantungku berdebar-debar. Dag-Dig-Dug. Sangat terasa menembus aliran darahku.
Saat itu, aku mencintai seorang gadis untuk pertama kalinya. Namun, dia tak menyambut cintaku. Ataukah memang dia tak mengerti apa yang kurasa? Karena itulah aku jadi galau. Hatiku ingin melampiaskan rasa sakit hatiku kepada semua gadis-gadis yang ada di kampus.
“Maafkan aku, Lola,” aku memelas. “Maafkan aku, Anna, maafkan aku, Firda,” desahku lirih. “Maafkan aku, pula Sonia,” aku menangis.
Tiba-tiba mereka membawaku lagi ke tempat yang penuh dengan cahaya putih berkilauan. Mereka mendorongku.
“Maafkan aku, Damar. Sejujurnya aku sangat menyayangimu. Namun, aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa di matamu. Aku hanyalah gadis kampung yang liar. Tidak sepadan denganmu yang tampan dan kaya. Maafkan pula kata-kataku tadi siang,” Linda menangis memegang tanganku, lalu mencium keningku.
Aku mendengar kata-katanya serta aku merasakan kecupannya yang begitu penuh kasih sayang.
“Ah,” mulutku seolah ingin berkata.
Aku tidak bisa membuka mataku. Tubuhku sakit semua. Hancur dan retak seperti tertindih pohon besar.
Tiada berdaya kudengar isak tangis orang yang kusayang. Linda. Maafkan aku. Hatiku memendam rasa bersalah. Kucoba membuka mata ini. Aku berhasil membuka mata ini. Kulihat Linda di sampingku sambil memegang tanganku. Air matanya mengalir terus- menerus.
Aku mencoba berkata-kata walau sungguh sakit.
“Ma…, ma…,” kata-kataku terpotong-potong. “Ma… af…, maafkan…, aku…,” ucapku terbata-bata. “Aku…, mencintaimu!”
Kali ini air mata Linda mengalir lebih deras. Ia menangis. Aku pun menangis.
“Aku juga mencintaimu dan aku akan menjagamu dengan kasih sayangku,” balas Linda terisak-isak.
“Terima…, kasih…,” aku memejamkan mata.
Tiba-tiba tubuhku melayang ke udara. Kulihat Linda menangis histeris. Keluargaku baru datang. Sudah terlambat!
Kini, aku ditemani oleh empat orang bidadari. Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Mereka menemaniku di sini. Di tempat seharusnya aku berada.
By : meimei
More about → Mungkin Berakhir Indah | Cerpen Remaja
Semenjak lulus SMA, saat itu usiaku delapan belas tahun, sikapku semakin tidak karuan. Apalagi ketika aku melanjutkan di bangku kuliah, ada saja perbuatanku yang tidak disukai oleh kaum Hawa. Teman-teman di kampus memberiku julukan si Mulut Buaya. Maklumlah, di tempatku kuliah hanya aku saja yang paling banyak diminati oleh gadis-gadis di kampus. Aku sangat bangga bahkan menjadi angkuh karena ketampananku. Badanku tinggi dan berisi bahkan mulai berotot seperti Ade Rai. Aku juga punya harta yang tujuh turunan tak akan habis. Aku juga disegani oleh teman-teman bahkan dosen di sana. Ya, jelas saja. Aku ini anak seorang pejabat negara.
Namun, ada satu gadis yang menurutku dia biasa saja. Kadang-kadang terlihat manis. Dia sangat membuatku kesal. Dia pernah menantangku dan tak ada rasa takut melawanku. Oh… mau cari mati dia, pikirku menantang.
Namanya, Linda. Dia perantau dari Bangka. Tidak cantik, tetapi cukup berani. Linda teman sekelasku. Dari semester satu sampai semester delapan saat ini, aku masih sekelas bersamanya. Kami selalu saja tidak pernah akur. Perdebatan sering terjadi. Tidak ada kata titik. Selalu saja tidak ada akhirnya. Sama-sama keras kepala.
Di kelas, aku dan Linda disebut sebagai Tom and Jerry. Seperti tikus dan kucing saja tiap hari bertengkar. Di suatu hari, entah hari apa, aku tak mendapat Linda masuk kelas. Mungkin dia tidak masuk hari ini. Dia sakit? Dia bolos? Dia mendapat hukuman? Ah… pertanyaan ini sering kali terlintas dalam benakku. Mengapa aku begitu khawatir?
Begitulah diriku, tidak mau menyadari kalau aku…
* * *
Di lain hari.
Linda berhasil menjadi ketua kelas. Aku menjadi sangat benci padanya. Aku kalah! Ah, itu tidak akan terjadi. Urusan sepele melawan dia! Dengan jurus bualanku, dia pasti akan tertarik padaku, dan akan masuk dalam perangkapku. Perangkap tikus, kataku dalam hati.
Wanita mana yang tidak akan tertarik padaku. Punya mobil kelas dunia yang hanya satu di Indonesia, wajahku tampan lebih dari seorang pangeran Inggris, pikirku membanggakan diri.
Sewaktu masih semester satu, aku pernah berpacaran dengan Lisa. Dia seorang model majalah terkenal. Cantik. Anak orang kaya. Berpenampilan menarik. Kemudian, aku putuskan hubungan dengannnya, hanya sebulan kita pacaran. Dia masih sakit hati sampai sekarang.
Lalu aku pacari lagi anak seorang angkatan darat. Namanya, Mona. Cantik dan feminin. Lagi-lagi aku memutuskan hubungan. Hanya sebulan pacaran. Kemudian, Shinta, seorang artis terkenal di Indonesia. Muda dan anggun. Aku pacari juga. Ya, hanya sebulan kita pacaran!
Lisa, Mona, Shinta, dan masih banyak lagi, mugkin sudah puluhan. Mereka adalah mantan pacarku di kampus, atau bisa disebut korban cintaku. Sakit hati. Wajarlah, hanya sebulan aku berhubungan kemudian aku putuskan! Selesai, ungkap diriku dalam hati.
Hanya dengan modal tampang keren dan ganteng. Bawa mobil pribadi, dan punya uang yang banyak, gadis-gadis di kampus berbondong mendaftarkan diri menjadi pacarku. Bahkan tidak hanya di kampus saja, di luar kampus juga banyak. Bukan salahku! Itu pilihan mereka!
Kupacari teman wanita di kampus, lalu kuputuskan. Kupacari lagi wanita lain di luar kampus kemudian kuputuskan, begitu seterusnya.
Tidak sedikit mantan pacarku yang sakit hati. Ada yang mencoba membunuhku, menamparku, bahkan melaporkan aku ke kantor polisi karena aku dianggap telah berbuat tidak senonoh terhadapnya. Ah, ada-ada saja, ketus hatiku.
“Sudah cukup kamu menyakiti hati mereka! Apa belum puas juga kamu!” Linda menggertak.
Tersentak aku kaget dari lamunanku yang membuatku merasa bangga ketika aku sedang bersantai di bangku kantin. Orang-orang di kantin juga memperhatikan Linda termasuk aku.
“He! Ngapain juga kamu ikut campur urusanku?”
“Aku tahu kamu tampan, ganteng, kaya, dan punya segalanya. Tapi hatimu busuk!”
“Apa kamu bilang? Enak saja kamu menghina aku!” Aku marah sambil bertolak pinggang.
“Itu kata-kata yang pantas kamu terima!”
Linda kemudian pergi dengan wajah sinisnya.
“Uh, dasar perempuan aneh!”
Mengapa Linda berkata kasar seperti itu? Apa aku punya salah padanya? Ya… sudahlah! Lalu aku pergi meninggalkan kantin di belakang kampusku, karena malu dipermalukan di depan teman-temanku.
Namun, aku juga tidak terima penghinaannya. Betul-betul keterlaluan!
“Sialan tuh anak, awas kalau bertemu nanti! Aku akan membalasnya!” sambil melotot menahan marah dan kesal.
Akhirnya, dengan perasaan penuh kesal aku tancap gas motorku dengan kencang. Menuju rumahku. Lampu merah aku terobos. Untung tidak ada polisi. Namun, di pinggir jalan kulihat Linda barjalan kaki sendiri. Entah mau kemana. Ah, kesempatanku memberi pelajaran padanya, bisikku penuh emosi.
Baru akan meminggirkan motorku ke trotoar, tiba-tiba mobil dari belakang menabrakku dengan kencang. Brak!! Suaranya seperti barang yang terjatuh dari lantai enam. Apa aku akan mati?
Aku melihat ada taman yang indah dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Kulihat banyak kerumunan orang memakai baju putih tanpa lengan. Kulihat juga di sekeliling taman ada beberapa gadis cantik yang kukenal. Itu seperti, Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Bukankah mereka sudah meninggal secara tragis karena bunuh diri? Ya… sejak aku putuskan tali cinta yang waktu itu terbina. Sejahat itukah diriku? Hingga membiarkan hati mereka hancur sampai mati.
Mereka berempat tersenyum padaku. Mereka membawaku berkeliling taman. Hingga mereka menunjukkan sesuatu berupa cahaya putih menyilaukan. Aku mendekati. Kulihat ke bawah, dan betapa kagetnya aku. Kulihat seorang pria terkapar di ruang operasi dengan tubuh penuh jahitan. Masih basah. Hidungnya terpasang selang oksigen, kaki dan tangannya diperban. Oh… itu diriku! Kulihat di sampingnya ada seorang gadis yang kukenal. Itu Linda! Aku memanggil-manggil namanya beberapa kali. Dia tak mendengar. Aku pasrah. Aku juga ingin meminta maaf karena diam-diam aku benar-benar jatuh cinta padanya. Ketika pertama masuk di bangku kuliah, semester satu. Aku memang sudah curi-curi pandang dirinya. Walau banyak gadis cantik, aku tak menaruh perasaan. Jantungku berdebar-debar. Dag-Dig-Dug. Sangat terasa menembus aliran darahku.
Saat itu, aku mencintai seorang gadis untuk pertama kalinya. Namun, dia tak menyambut cintaku. Ataukah memang dia tak mengerti apa yang kurasa? Karena itulah aku jadi galau. Hatiku ingin melampiaskan rasa sakit hatiku kepada semua gadis-gadis yang ada di kampus.
“Maafkan aku, Lola,” aku memelas. “Maafkan aku, Anna, maafkan aku, Firda,” desahku lirih. “Maafkan aku, pula Sonia,” aku menangis.
Tiba-tiba mereka membawaku lagi ke tempat yang penuh dengan cahaya putih berkilauan. Mereka mendorongku.
“Maafkan aku, Damar. Sejujurnya aku sangat menyayangimu. Namun, aku sadar bahwa aku bukan siapa-siapa di matamu. Aku hanyalah gadis kampung yang liar. Tidak sepadan denganmu yang tampan dan kaya. Maafkan pula kata-kataku tadi siang,” Linda menangis memegang tanganku, lalu mencium keningku.
Aku mendengar kata-katanya serta aku merasakan kecupannya yang begitu penuh kasih sayang.
“Ah,” mulutku seolah ingin berkata.
Aku tidak bisa membuka mataku. Tubuhku sakit semua. Hancur dan retak seperti tertindih pohon besar.
Tiada berdaya kudengar isak tangis orang yang kusayang. Linda. Maafkan aku. Hatiku memendam rasa bersalah. Kucoba membuka mata ini. Aku berhasil membuka mata ini. Kulihat Linda di sampingku sambil memegang tanganku. Air matanya mengalir terus- menerus.
Aku mencoba berkata-kata walau sungguh sakit.
“Ma…, ma…,” kata-kataku terpotong-potong. “Ma… af…, maafkan…, aku…,” ucapku terbata-bata. “Aku…, mencintaimu!”
Kali ini air mata Linda mengalir lebih deras. Ia menangis. Aku pun menangis.
“Aku juga mencintaimu dan aku akan menjagamu dengan kasih sayangku,” balas Linda terisak-isak.
“Terima…, kasih…,” aku memejamkan mata.
Tiba-tiba tubuhku melayang ke udara. Kulihat Linda menangis histeris. Keluargaku baru datang. Sudah terlambat!
Kini, aku ditemani oleh empat orang bidadari. Lola, Anna, Firda, dan Sonia. Mereka menemaniku di sini. Di tempat seharusnya aku berada.
By : meimei